Jarang Pindah-pindah Distro Linux

Pertama kali aku mengenal Linux pada saat aku masih duduk di bangku kuliah sebagai mahasiswa. Saat itu aku tidak begitu akrab dengan distro-distro Linux. Kemungkinan kalo tidak salah aku memakai Mandrake, itu pun lewat SSH dari mesin Windows.

Bertahun-tahun kemudian tiba-tiba dunia komputer digemparkan dengan hadirnya Ubuntu dengan pemberian CD gratis yang dikirimkan dari luar negeri. Dengan keadaan yang masih fakir benwit, program gratis ini cukup membuatku tertarik mencoba Linux kembali.

Memulai proses pengenalan desktop di Linux tidaklah sesulit yang kubayangkan. Aku mencoba memasang peramban web seperti Firefox untuk melihat hasil pekerjaanku. Karena tidak tergantung sistem operasi, tampilan situs web yang kubuat tidak jauh berbeda saat di Windows. Selanjutnya, aku pasang beberapa aplikasi pendukung untuk memutar video dan musik.

Bisa dikatakan saat ini aku sudah sangat akrab dengan Linux. Jika pun aku ingin berpindah distro, aku hanya menggunakan Linux dari turunan Ubuntu seperti Linux Mint atau elementaryOS. Baru-baru aku pun pindah ke Linux Mint Debian Edition dan Debian yang terkenal sebagai nenek moyangnya distro-distro yang kugunakan.

Sampai sekarang aku tidak kepikiran menggunakan distro di luar Debian seperti Fedora atau Arch. Alasannya sederhana, sebagai programmer aku tidak butuh desktop yang membuatku belajar yang baru. Aku hanya butuh alat-alat yang menunjang pekerjaanku tanpa terlalu tergantung sama sistem operasi. Aku termasuk orang yang jarang mengotak-atik desktop selain tema dan ikonnya.

Connect with me:

Comments

Spammy comment will be deleted. Markdown syntax is supported.